ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena kumpul kebo alias tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan bukan perihal baru dalam sejarah sosial Indonesia. Praktik ini apalagi sudah berjalan sejak era kolonial, terutama kalangan pejabat Belanda nan tinggal di Hindia Belanda.
Pada masa itu banyak pejabat VOC dan penduduk Eropa memilih menjalin hubungan dengan wanita lokal tanpa melalui pernikahan formal. Alasannya, membawa istri dari eropa ke Hindia Belanda menyantap biaya besar dan akibat kesehatan nan tinggi.
Sebagai solusi, menjalin hubungan dengan wanita lokal, nan kebanyakan dari kalangan budak.
Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750), salah satunya. Dalam kitab Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016) diceritakan, van Imhoff nan tercatat punya istri pernah menerima budak elok dari Ratu Bone sebagai hadiah.
Budak itu dibaptis dengan nama Helena Pieters untuk tinggal di rumah berbareng sebagai "teman hidup." Dari hubungan itu, mereka kemudian mempunyai anak-anak.
Contoh lain adalah Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk (1777-1780). Saat tiba di Jawa, de Klerk hidup berbareng budak perempuan. Dari hubungan ini keduanya punya banyak anak nan kemudian dikirim ke Belanda.
Tak hanya Gubernur Jenderal, kalangan elit lain juga melakukan perihal serupa. Penasihat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) dan personil Dewan Hindia, ialah Herman Warner Muntinghe, tercatat tinggal berbareng tiga budak wanita meski telah beristri wanita Indo-Belanda.
Raffles sendiri dikenal tak mempermasalahkan hubungan tak sah bawahannya dengan para budak. Atas dasar ini, di masa kekuasaannya, praktik kumpul kebo lazim dilakukan.
Teman Raffles lain, ialah Alexander Hare, punya "teman hidup" wanita dari beragam wilayah. Dalam bukunya Raffles and the British Invasion of Java (2012), Tim Hannigan mencatat Hare memanfaatkan posisi dan kekuasaannya untuk mengeksploitasi wanita lokal sebagai "teman hidup".
Sebenarnya, tindakan para elit hanyalah puncak gunung es. Di level bawah, para pegawai, prajurit, hingga pedagang Eropa juga kerap menjalani kehidupan serupa, ialah tinggal berbareng wanita lokal tanpa ikatan nikah.
Masyarakat lantas menyebut praktik ini sebagai "kumpul Gerbouw". Dalam bahasa Belanda, Gerbouw berfaedah "bangunan" alias "rumah". Dengan demikian, julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran untuk mereka nan hidup berbagi atap.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Kesaksian Tsunami 100 Meter Terjang Ambon, Warga Rasakan Kiamat